K uningan, Jawa Barat — Dalam semangat dialog lintas iman dan membangun jembatan kemanusiaan, Komisi Germasa (Gereja, Masyarakaat, Agama-agama, Hukum dan Lingkungan Hidup) GPIB Paulus Jakarta mengadakan kunjungan silaturahmi ke komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, pada bulan Juni lalu. Kegiatan ini merupakan bagian dari program rutin Germasa dalam membina relasi yang inklusif dan transformatif dengan masyarakat lintas budaya dan keyakinan di Indonesia.
Kunjungan ini diikuti oleh 40 orang peserta dari jemaat GPIB Paulus, termasuk tim komisi Germasa, perwakilan presbiter, serta beberapa Pengurus Unit Misioner dalam pelayanan sosial dan lintas iman. Mereka disambut hangat oleh tokoh adat dan spiritual Sunda Wiwitan, yaitu Teh Juwita dan Rama Anom Gumirat, cucu dari Pangeran Djatikusumah, serta keluarga besar komunitas adat yang menetap di sekitar Paseban Tri Panca Tunggal, pusat spiritual Sunda Wiwitan.
Sunda Wiwitan: Warisan Budaya dan Kearifan Lokal
Komunitas Sunda Wiwitan dikenal sebagai penjaga kearifan lokal dan warisan leluhur masyarakat Sunda. Ajarannya berakar pada nilai-nilai spiritual nenek moyang yang mengedepankan harmoni antara manusia, alam, dan Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa). Dalam dialog bersama, Wawan Gunawan menjelaskan bahwa Sunda Wiwitan bukanlah sekadar sistem kepercayaan, melainkan pandangan hidup yang menyatu dalam keseharian.
“Sunda Wiwitan mengajarkan kami untuk ‘hirup sauyunan’—hidup berdampingan dengan damai dan saling menghormati. Kami percaya bahwa semua manusia, apapun keyakinannya, berasal dari sumber yang sama,” ujar Jajat dalam sambutannya.
Peserta dari GPIB Paulus pun diberi kesempatan untuk mengunjungi situs-situs spiritual seperti Bale Paseban, Batu Satangtung, dan area pemujaan lainnya yang dikelola dengan penuh penghormatan. Di setiap titik, para peserta diajak untuk melihat langsung bagaimana kehidupan spiritual dijalankan, tidak dalam bentuk ritual semata, tetapi dalam sikap hidup yang sederhana, bersyukur, dan penuh kasih terhadap alam.
Dialog dan Refleksi: Membangun Ruang Saling Menghormati
Acara dilanjutkan dengan sesi dialog terbuka yang difasilitasi oleh Komisi Germasa. Dalam forum ini, peserta dari kedua belah pihak berbagi pengalaman tentang bagaimana komunitas mereka menghadapi tantangan hidup berdampingan dalam masyarakat plural. Dari pihak GPIB Paulus, salah satu peserta, Ibu Susanti, menuturkan bahwa kunjungan ini membuka wawasan spiritual dan memperluas rasa hormat terhadap kebhinekaan Indonesia.
“Kita mungkin berbeda dalam cara kita menyapa Tuhan, tetapi saya melihat ada kesamaan dalam nilai-nilai: kasih, kebaikan, dan penghormatan terhadap kehidupan. Itulah yang menghubungkan kita,” kata Ibu Susanti.
Pihak Sunda Wiwitan juga berbagi pengalaman mereka menghadapi diskriminasi dan marginalisasi karena status mereka yang tidak diakui sebagai agama resmi. Namun, mereka tetap memilih untuk menyikapi tantangan itu dengan damai dan melalui pendekatan kebudayaan.
Doa Bersama dan Simbol Persaudaraan
Dalam penutup kunjungan, kedua komunitas melakukan doa bersama dalam cara masing-masing. Komunitas Sunda Wiwitan menyanyikan kidung pujian kepada Sang Hyang Kersa, sementara tim dari GPIB Paulus melantunkan doa syafaat. Doa ini menjadi simbol bahwa perbedaan bukanlah batas, melainkan kekayaan dalam kebersamaan sebagai sesama ciptaan Tuhan.
Sebagai tanda kenangan, GPIB Paulus menyerahkan plakat dan tanda kasih sebagai simbol pertumbuhan, kekuatan, dan keberlanjutan persaudaraan. Pihak Sunda Wiwitan membalas dengan memberikan ikat kepala adat yang disebut iket, sebagai lambang penghormatan dan penerimaan.
Refleksi dari Komisi Germasa
Dalam evaluasi internal yang dilakukan di akhir perjalanan, Ketua Komisi Germasa GPIB Paulus, Bapak Maksy Lendway, menyampaikan rasa syukur atas kesempatan ini.
“Kunjungan ini bukan sekadar kegiatan simbolik, tetapi panggilan untuk benar-benar hadir, mendengar, dan belajar dari saudara kita yang selama ini jarang tersorot. Germasa berkomitmen untuk terus menjalin hubungan lintas iman yang sejati, bukan hanya atas nama toleransi, tetapi atas dasar cinta kasih Kristus,” tegas Yulius.
Germasa juga mencatat beberapa tindak lanjut dari kunjungan ini, antara lain potensi program kerja sama budaya, pelatihan bersama soal kearifan lokal dan lingkungan, serta advokasi kemanusiaan berbasis komunitas adat.
Makna dan Harapan ke Depan
Indonesia yang majemuk membutuhkan lebih banyak ruang perjumpaan seperti ini, di mana komunitas lintas iman dan adat dapat saling mendengarkan tanpa syarat. Kunjungan Komisi Germasa ke komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan menjadi bukti bahwa dialog bukan hanya mungkin, tetapi juga memberi makna mendalam bagi masing-masing pihak.
Bagi komisi Germasa GPIB Paulus, kunjungan ini memperkaya iman mereka, bukan dengan mengubah keyakinan, tetapi dengan memperluas cinta kepada sesama manusia. Bagi komunitas Sunda Wiwitan, kehadiran saudara lintas agama seperti ini memberi kekuatan moral bahwa mereka tidak sendiri dalam perjuangan menjaga warisan dan martabat.
Akhirnya, seperti yang tertulis dalam Markus 12:31, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ayat ini tidak hanya menjadi slogan iman Kristen, tetapi menjadi aksi nyata dalam wujud kunjungan, perjumpaan, dan persaudaraan lintas batas. Germasa telah menyalakan lilin kecil di tengah pluralitas Indonesia, semoga nyalanya menjalar lebih luas dalam semangat damai dan cinta kasih universal.